A.
Kebebasan Pers Indonesia
Kebebasan pers adalah kebebasan
mengemukakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers,
seperti harian, majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya
untuk menegakkan keadilan, ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, bukan
untuk merusakkannya. Kebebasan harus disertai tanggung jawab, sebab kekuasaan
yang besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan
dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita
yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif
pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab dari pers. Jadi, pers
diberi kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.
Selanjutnya, Komisi Kemerdekaan Pers menggariskan lima hal yang menjadi tuntutan masyarakat modern terhadap pers, yang merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pers, yaitu sebagai berikut :
- Pers dituntut untuk menyajikan laporan tentang
kejadian sehari-hari secara jujur, mendalam dan cerdas. Ini merupakan
tuntutan kepada pers untuk menulis secara akurat dan tidak berbohong.
- Pers dituntut untuk menjadi sebuah forum
pertukaran komentar dan kritik, yang berarti pers diminta untuk menjadi
wadah diskusi di kalangan masyarakat, walaupun berbeda pendapat dengan
pengelola pers itu sendiri.
- Pers hendaknya menonjolkan sebuah gambaran yang
representative kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal ini mengacu pada
segelintir kelompok minoritas dalam masyarakat yang juga memiliki hak yang
sama dalam masyarakat untuk didengarkan.
- Pers hendaknya bertanggung jawab dalam penyajian
dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat.
- Pers hendaknya menyajikan kesempatan kepada
masyarakat untuk memperoleh berita sehari-hari. Ini berkaitan dengan kebebasan
informasi yang diminta masyarakat.
Adapun landasan hukum kebebasan pers Indonesia
termaktub dalam :
- Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
- Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
- Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
B.
Pers, Masyarakat dan Pemerintah
Hal terpenting yang harus
diperhatikan berkaitan antara pers, masyarakat dan pemerintah adalah sebagai
berikut :
- Interaksi harus dikembangkan
sekreatif mungkinuntuk tercapainya tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan
manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Interaksi positif antara
ketiga komponen tidak bisa lain berlangsung dalam perangkat dan pranata
Pancasila, norma dan etika dasar bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan
Negara Republik Indonesia. Karena itu, sebelum menjabarkan lebih lanjut,
bagaimana interaksi positif antara ketiga komponen itu bisa dikembangkan
secara maksimal, perlu lebih dulu dipahami hakekat Pancasila bagi
kehidupan nasional Indonesia.
- Negara-negara demokrasi
Liberal Barat mendasarkan kehidupan dan dinamiknya pada individu dan
kompetisi secaraantagonis, sedangkan negara-negara komunis berdasarkan
kepada pertentangan kelasya ng bersifat dialektis materiil. Adapunnegara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berpaham pada keseluruhan dan
keseimbangan, baik antara individu dan masyarakat maupun antara berbagai
kelompok sosialnya. Dinamika dikembangkan bukan dari pertarungan menurut
paham “singa gede menang kerahe” (singa besar pasti menang bertarung),
melainkan atas paham hidup menghidupi, simbiosis mutualis. Pola dasar dan
sistem nilai yang demikian itu juga menjadi dasar dan semangat dari
hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat. Hubungan itu tidak
disemangati oleh sikapapriori atau saling curiga, apalagi saling memusuhi.
Hubungan itu adalah hubungan perkerabatan yang fungsional.
- Antara pemerintah, pers dan
masyarakat, harus dikembangkan hubungan fungsional sedemikian rupa,
sehingga semakin menunjang tujuan bersama yaitu terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dalam proses hubungan
tersebut. Namun perbedaan pendapat tidak harus ditafsirkan sebagai konflik
melainkan sebagai proses kreatif dan dinamis dalam usaha mencapai harmoni
dan keseimbangan yang setiap kali semakin maju, kuantitatif dan
kualitatif.
- Hubungan antara pemerintah,
pers dan masyarakat, sesungguhnya merupakan pengejawa-ntahan dari
nilai-nilai Pancasila. Itulah sebabnya, salah satu pendekatan kultural
terhadap segala persoalan, lebih cocok dengan identitas Indonesia,
lagipula pendekatan kultural ini telah dibuktikan kharisma dan daya
mampunya dalam periode perjuangan kemerdekaan nasional, sehingga mampu
membangkitkan semangat patriotisme, pengorbanan tanpa pamrih dan dedikasi
total terhadap kepentingan rakyat banyak. Pendekatan kultural juga dapat
memperlancar proses kembar, yaitu kontinuitas dan perubahan yang menjadi
ciri-ciri kehidupan setiap bangsa, apalagi bangsa yang sedang membangun.
Pembangunan berarti perubahan yang terarah seca bertahap tapi konsisten.
Sedangkan perubahan itu agar kokoh, harus berakar dan akar itu adalah
kontinuitas. Kontinuitas dari nilai kebudayaan bangsa yang paling mulia,
termasuk di antaranya warisan nilai-nilai empat puluh lima.
- Baik untuk menjamin
tercapainya sasaran maupun karena sesuai dengan asas demokrasi Pancasila,
maka dalam hubungan fungsional antara pemerintah, pers dan masyarakat,
perludikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan
berfungsinya sistem kontrol sosial dan kritik secara efektif dan terbuka.
Tetapi kontrol sosial itu pun substansi dan caranya tidak terlepas dari
asas keselarasan dan keseimbangan, kekerabatan dan hidup menghidupi.
- Pembangunan masyarakat bisa berlangsung
dalam pola evolusi, reformasi dan revolusi. Jika kita menempatkan
pembangunan nasional Indonesia ke dalam salah satu dari ketiga kategori
itu, maka yang paling tepat ialah pada pola reformasi. Pembangunan dalam
pola reformasi berarti perobahan terarah yang fundamental sesuai dengan
konsep masyarakat Pancasila, namun dilaksanakan secara bertahap dan
menurut asas prioritas.
- Seluruh bidang kehidupan
masyarakat hendak dibangun, tetapi pelaksanaannya bertahap dan selektif,
semakin hari semakin maju dan menyeluruh sehingga akhirnya seluruh bidang
kehidupan masyarakat bangsa dan negara dijamahnya, ditransformir menjadi
masyarakat Pancasila. Pendekatan bertahap, berprioritas, berencana
merupakan pendekatan yang tepat, mengingat serta keterbatasan yang ada
pada kita, tetapi seluruh prosesnya perlu dipercepat (diakselarasi),
karena sebagai bangsa dihadapkan dengan faktor waktu yang semakin
mengejar. Pemerintah, pers dan masyarakat harus mampu membangun diririnya
sendiri agar menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih ampuh untuk
melaksanakan pembangunan.
- Adanya kekurangan merupakan
gejala umum yang harus kita terima bersama. Bukan agar kita menyerah dan
menjadi dalih dari berbagai kemungkinan penyalahgunaan, melainkan agar
kita mampu melihat segala sesuatunya dengan proporsi yang tepat dan
konstruktif. Agar dalam melakukan koreksi, kita tidak menimbulkan apatisme
dan antipati melainkan justru menggairahkan usaha-usaha perbaikan dan
pembangunan itu sendiri. Di samping menunjukkan kekurangan-kekurangan,
pers harus bisa juga menunjukkkan hal-hal positif. Berlaku kembali di sini
asas keselarasan dan keseimbanganyang merupakan tipe ideal masyarakat
kita, sekali pun merupakan nilai dalam proses pendekatan. Interaksi
berarti proses pengaruh- mempengaruhi sebagai dasar dari konsensus bersama
yang merupakan hasil komunikasi dua arah timbal balik.
- Hubungan antara pemerintah,
pers dan masyarakat merupakan hubungan kekerabatan dan fungsional yang
terus menerus dikembangkan dalam mekanisme dialog. Di samping mekanisme
dialog, juga perlu dikembangkan mekanisme lain, yaitu diselenggarakan
seminar sebagai kegiatan rutin yang kreatif dalam usaha mengembangkan
konsepsi, nilai-nilai dan mekanisme. Dalam usaha memelihara kontinuitas
yang kreatif, juga dipandang bermanfaat untuk menerbitkan buku-buku dalam
bidang pers, sehingga menjadi bahan bacaan bagi para wartawan, pejabat
pemerintah maupun perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa kini telah
diterbitkan tiga buku hasil panitia Dewan Pers, yaitu “Sejarah Pers
Indonesia, Pornografi dan Pers Indonesia dan Naskah Pengetahuan Dasar bagi
Wartawan Indonesia”.
- Dalam hubungan antara
pemerintah, pers dan masyarakat,otonomi masing-masing lembaga sesuai
dengan asas Demokrasi Pancasila, dihormati dan perlu dikembangkan. Salah
satu karya otonomi ialah apa yang dengan baik bisa dilakukan sendiri oleh
lembaga masyarakat, tidak perlu pemerintah mencampurinya. Dalam konteks
ini, misalnya perlu dikembangkan adanya mekanisme efektif oleh masyarakat
pers sendiri untuk mengatur perilaku kehidupannya. Pelaksanaan kode etik
dan sanksi atas pelanggaran, misalnya perlu ditingkatkan. Disarankan agar
dipelajari kemungkinan dibentuknya suatu Dewan Kehormatan, yang terdiri
dari tiga pihak; pers, masyarakat, pemerintah. Dewan kehormatan yang
demikian itu agar dibentuk di pusat maupun di daerah sesuai dengan
kebutuhannya.
- Jadi, bila dibahas lebih
spesifik lagi, pers memang “lahir” di tengah-tengah masyarakat, sehingga
pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Pers “lahir” untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk
memperoleh informasi yang aktual dengan terus-menerus mengenai peristiwa-
peristiwa besar maupun kecil. Pers sebagai lembaga kemasyarakatan tidak
dapat hidup sendiri, akan tetapi pers dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga
kemasyarakatan yang lain.
- Menurut Wilbur Schramm, pers
bagi masyarakat adalah “Watcher, forum and teacher” (pengamat, forum dan
guru). Maksud pernyataan di atas adalah, bahwa setiap hari pers memberikan
laporan dan ulasan mengenai berbagai macam kejadian dalam dan luar negeri,
menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan pendapat
secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai kemasyarakatan dari
generasi ke generasi.
C. Dampak penyalahgunaan kebebasan media Massa
Kebebasan yang telah dibuka oleh
pemerintah bagi insan pers memberi peluang kepadanya untuk memperoleh informasi
seluas-luasnya secara tepat dan cepat. Tetapi di balik itu ada oknum yang
menyalahgunakan kebebasan pers, antara lain :
1. Digunakan sebagai alat poitik bagi oknum tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu, berarti pers tidak lagi lagi mampu menjadi alat
kontrol yang baik,
2. Melalui opini / pendapat yang bersumber dari SMS,
orang dapat menyampaikan pendapatnya secara lugas, dimana dapat merugikan
pihak-pihak tertentu,
3. Media elektronik / TV, sering menayangkan acara yang
jauh dari nilai-nilai pendidikan, bahkan bertabrakan dengan norma-norma
masyarakat,
4. Pejabat atau orang kaya yang diduga melakukan KKN,
memperalat media massa untuk tidak mengekspos / memberitakan dengan imbalan
tertentu.
Dampak negatif dari
penyalahgunaan kebebasan media massa dapat dibedakan secara intern dan ekstern,
yaitu :
1. Secara intern
a. Pers tidak obyektif, menyampaikan berita bohong,
lambat atau cepat akan ditinggal pembacanya,
b. Ketidaksiapan masyarakat untuk menggunakan hak jawab
akan menimbulkan kejengkelan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan
pers, akan melakukakan tindakan yang anarkhis dengan merusak kantor, bahkan
tindakan fisik terhadap wartawan yang memberitakan.
2. Secara ekstern
a. Mempercepat kerusakan akhlak dan moral bangsa,
b. Menimbulkan
ketegangan dalam masyarakat,
c. Menimbulkan
sikap antipati dan kejengkelan terhadap pers,
d. Menimbulkan
sikap saling curiga dan perpecahan dalam masyarakat,
e. Mempersulit
diadakannya islah / merukunkan kembali kelompok masyarakat yang sedang konflik.
Dalam kaintannya dengan kebebasan
Pers, perlu disimak apa yang dikemukakan oleh jurnalis dan ahli sejarah Amerika
serikat Paul Johnson. Ia mensinyalir adanya praktik menyimpang dalam kebebasan
pers yang disebut “Tujuh Dosa Yang mematikan “(Seven Deadly Sins), yaitu :
1.
Distorsi Informasi
Lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi
informasi, baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual yang tidak
sesuai dengan sumber aslinya. Akibatnya makna menjadi berubah.
2.
Dramatisasi Fakta Palsu
Dipraktekkan denngan memberikan ilustrasi verbal,
auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara
ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui
penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan membangun suatu citra negatif dan
stereotip.
3.
Menganggu “Privacy”
Dilakukan peliputan kehidupan kalangan selebritis
dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Cara yang
dilakukan antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan
telelens, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, memaksa
atau menjebak.
4.
Pembunuhan Karakter
Praktik ini umumnya dialami secara individu,
kelompok atau organisasi / perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan
kejahatan. Biasanya dilakukan dengan mengekspolitasi, menggambarkan dan
menonjolkan sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi
baiknya.
5.
Eksploitasi Seks
Praktik eksploitasi seks tidak hanya menjadi
monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan
dengan cara menempatkan di halaman depan surat kabar, tulisan yang bermuatan
seks.
6.
Meracuni Benak / Pikiran Anak
Praktik ini dilakukan dengan cara menempatklan
figur anak-anak. Akhir-akhir ini, praktik serupa semakin meningkat denngan
penonjolan figur anak-anak sebagai sasaran atau pelaku dalam memasarkan
berbagai macam produk.
7.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi
di lingkungan pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol
kebijakan editorial / pemberitaan media massa.
Ketujuh “Dosa jurnalistik itu
menurut ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Sasa Djuarsa Senjaya,
terjadi juga di Indonesia, terutama dilakukan media massa yang baru terbit.
Beliau menyebutnya sebagai “Praktik Jurnalistik yang Menyimpang”, yaitu :
1.
Eksploitasi Judul
Judul tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya
judul tersebut bernada agitatif, emosional, dan tidak jarang “seronok”.
Tujuannya untuk menarik perhatian pembaca dan untuk meningkatkan
sirkulasi.
2.
Sumber Berita “Konon Kabarnya”
Tidak jarang pula sumber berita “konon kabarnya”
atau ‘menurut sumber berita yang tidak mau disebut namanya” dipraktikkan.
Padahal salah satu implikasi dari prinsip obyektifitas adalah adanya kejelasan
identitas dari berbagai sumber berita yang dirujuk.
3.
Dominasi Opini Elite dan Kelompok Mayoritas
Pada umumnya media massa di Indonesia masih
cenderung mengutamakan pemuatan opini, pendapat atau pernyataan kalangan elite
dan mayoritas saja, misalnya para pakar, tokoh politik, kalangan selebritis,
pejabat pemerintah, tokoh agama atau pengusaha.Aspirasi masyyarakat bawah atau
minorotas kurang mendapatkan perhatian.
4.
Penyajian Informasi yang Tidak Investigatif
Penyajian informasi kurang bersifat investigatif,
hanya menjual issue, tetapi kurang melengkapinya dengan pemberian makna dan
interpretasi yang obyektif, komprehensif, dan mendalam.
Dampak positif kebebasan pers/
beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya kebebasan pers yaitu:
- Pers menjadi penyalur
aspirasi rakyat;
- Pers bebas
mencari/mendapatkan kebenaran, sehingga dapat mewujudkan keadilan;
- Pers menjadi kontrol sosial
yang bebas memberikan kritik, saran dan pengawasan;
- Pers menjadi penyebar
informasi yang dapat memenuhi hak masyarakat;
- Pers menjadi wahana
komunikasi massa;
- Pers menjadi penghubung
antar sesama manusia;
- Pers menjadi pendidik karena
bebas menyebarkan IPTEK;
- Pers menjadi pemberi hiburan
kepada masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa dampak kebebasan pers dapat ditinjau dari berbagai
kepentingan, antara lain :
1.
Bagi Kepentingan Pribadi
Jasa Pers dapat meningkatkan citra positif
seseorang. Sebaliknya karena pers, reputasi seseorang hancur. Padahal kenyataan
dapat sebaliknya. Jadi, nama baik seseorang dapat dirugikan apabila terjadi
penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi.
2.
Bagi Kepentingan masyarakat
Dengan bantuan media massa, fakta dapat dikamuflase
dengan tulisan lain yang berkesan membenarkan. Masyarakat dapat tertipu karena
mendapat informasi yang tidak benar. Misalnya kebijakan seorang tokoh tidak
tepat bila dikaji secara ilmiah. Namun karena informasi yang diberikan
berulang-ulang dan diekspos secara besar-besaran, masyarakat jadi terpengaruh.
3.
Bagi kepentingan Negara
Penyalahgunaan kebebasan pers
dapat merugikan kepentingan negara, karena tulisan-tulisan yang kurang
mempeertimbangkan kepentingan nasional. Hal semacam itu akan menimbulkan dampak
antara lain :
·
Tingkat kepercayaan masyarakat
menjadi berkurang. Masyarakat menjadi apatis terhadap program pemerintah.
·
Kepercayaan luar negeri menjadi
luntur. Akibatnya minat kerjasama, terutama kerjasama ekonomi, penanaman
investasi, pemberian bantuan, pemberian pinjaman akan menurun.
·
Timbulnya pergesekan hubungan
antara pers dengan institusi tertentu, yang menyebabkan renggangnya hubungan
karena pemberitaan yang tidak seimbang. Misalnya, TNI saat melakukan
operasi militer menumpas GAM di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis komentar